4
Manusia sebagai Individu
dan Mahluk Sosial
A. INDIVIDU DAN MASYARAKAT
1. Manusia sebagai Makhluk Individu
Dalam bahasa latin individu berasal dari kata individuum, artinya yang tak terbagi. Dalam bahasa inggris Individu berasal dari kata in dan divided. Kata in salah satunya mengandung pengertian tidak, sedangkan divided artinya terbagi. Jadi individu artinya tidak terbagi, atau suatu kesatuan.
Manusia sebagai mahluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsure fisik dan psikis, unsur raga dan jiwa.
Pengertian manusia sebagai makhluk individu mengandung arti bahwa unsur yang ada dalam diri individu tidak terbagi, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Ciri seorang individu tidak hanya mudah di kenali lewat cirri fisik atau biologisnya. Sifat, karater, perangai, atau gaya dan selera orag juga berbeda-beda. Lewat ciri-ciri fisik seorang pertama kali mudah di kenali. Ada orang yang gemuk, kurus, atau langsing, ada yang kulitnya cokelat, hitam, atau putih, ada yang rambutnya lurus dan ada ikal. Di lihat dari sifat, perangai, atau karakternya , ada orang yang periang, sabar, cerewet, atau lainnya.
Kalau seoran individu memilki cirri fisik dan karate atau sifat yang di bawa sejak lahir, ia juga memiliki ciri fisik dan karater atau sifat yang di pengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan ikut berperan dalam pembentukan karakteristik yang khas dari seorang. Istilah lingkungan yang merujuk pada lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkugan fisik seperti kondisi alam sekitarnya, baik itu lingkungan buatan seperti tempat tinggal ( rumah ) dan lingkungan. Sedangkan lingkungan yang bukan buatan seperti kondisi alam geografis dan iklimnya.
Setiap orang memiliki kepribadian yang membedakandirinya dengan yang lain. Kepribadian seseorang itu di pengaruhi faktor bawaan (genotipe) dan faktor lingkungan (fenotipe) yang saling berinteraksi terus menerus.
Selama manusia hidup ia tidak akan lepas dari pengaruh masyarakat, di rumah, di sekolah, dan di lingkungan yang lebih besar manusia tidak lepas dari pengaruh orang lain. Oleh karena itu manusia di katakana sebagai makhluk sosial, yaitu mahluk yang di dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain.
Dalam konteks sosial yang di sebut masyarakat, setiap orang akan mengenal orang lain oleh karena itu perilaku manusia selalu terkait dengan orang lain. Perilaku manusia dipengaruhi orang lain, ia melakukan sesuatu dipengaruhi oleh faktor dari luar dirinya, seperti tunduk pada aturan, tunduk pada norma masyarakat, dan keinginan mendapatkan respon positif dari orang lain ( pujian ).
Cooley memberi nama looking-glass self untuk melihat bahwa seseorang di pengaruhi oleh orang lain. Nama demikian di berikan olehnya karena ia melihat analogi antara pembentukan diri seseorangdengan perilaku orang yang sedang bercermin; kalau cermin memantauapa yang terdapat didepannya, maka menurut Cooley diri seseorang memantau apa yang di rasakannya sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya.
Cooley berpendapatkan bahwa looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap. Pada tahap pertama seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya. Pada tahap berikut seseorang mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain terhadap penampilannya pada tahap ketiga seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang di rasakannya sebagai penilaian orang lain terhadapnya itu.
Salah satu teori peranan dikaitkan dengan sosialisasi oleh teori George Herbert Mead. Dalam teorinya yang di uraikan dalam buku Mind, Self, and Society ( 1972 ), Mead menguraikan tahap-tahap pengembangan secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut Mead pengembangan diri manusia ini berlangsung melalui beberapa tahap-tahap play stage, tahap game stage, dan tahap generalized other.
Menurut Mead pada tahap pertama, play stage, seorang anak kecil mulai belajar mengambil peranan orang-orang yang berada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peranan yang di jalankan oleh orang tuanya, misalnya, atau peranan orang dewasa lain dengan siapa ia sering berinteraksi.
Pada tahap game stage seorang anak tidak hanya telah mengetahui peranan yang harus djalankannya, tetapi telah pula mengetahui peranan yang harus dijalankan oleh orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Contoh yang diajukan Mead ialah keadaan dalam suatu pertandingan: seseoranganak yang bermain dalam suatu pertandingan tidak hanya mengetahui apa yang di harapkan orang lain darinya, tetapi juga apa yang di harapkan dari orang lain yang ikut bermain dalam pertandingan tersebut.
Pada tahap ketiga sosalisasi seseorang di anggap telah mampu mengambil peranan-peranan yang di jalankan orang lain dalam masyarakat mampu mengambil perana generalized other. Ia telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami peranannya sendiri serta peranan orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Dari pandangan-pandagan Mead ini tampak jelas pendiriannya bahwa diri seseorang terbentuk melalui interaksi dengan orang lain. Terkadang ada sikap negative yag di perlihatkan oleh satu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya. Sikap khas yang sering di tampilkan itu di sebut prasangka ( prejudice ).
Orang yang berprasangka bersifat tidak rasional dan berada di bawah sadar sehingga sukar di ubah meskipun orang yang berprasangka tersebut di beri penyuluhan, pendidikan atau bukti-bukti yang menyangkal kebenaran prasangka yang di anut. Manusia di katakan sebagai mahluk sosial, karena beberapa alasan, yaitu :
1. Manusia tunduk pada satu aturan, norma sosial.
2. Perilaku manusia mengharapkan suatu penilaian dari orang lain.
3. Manusia memiliki kebutuha untuk berinteraksi dengan orang lain.
4. Potensi manusia akan berkembang bila ia hidup di tengah-tengah manusia.
Berkenaan hubungan antara manusia dengan alam, paling tidak ada tiga paham, yaitu paham determinisme, paham posibilisme, dan paham optimism teknologi. Determinisme alam menempatkan manusia sebagai makhluk yang tunduk pada alam, alam sebagai faktor menentukan. Menurut Charles Darwin ( 1809- 1882 ), dalam teori evolusinya, bahwa makhluk hidup ( tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia ), secara berkesinambungan dari waktu ke waktu mengalami perkembangan. Pada perkembangan tersebut, terjadi perjuangan hidup ( struggle for life, struggle for existence ), seleksi alam ( natural selection ), dan yang kuat akan bertahan hidup ( survival of the fittest ).
Ratzel melihat bahwa populasi manusia dengan perkembangan kebudayaannya di tentukan oleh kondisi alam. Meskipun manusia di pandang sebagai makhluk yang dinamis, mobilitasnya tetap dibatasi dan di tentukan oleh kondisi alam di permukaan bumi.
Huntington berpandangan bahwa iklim sangat menentukan perkembangan kebudayaan manusia. Karena iklim di permukaan bumi ini bervariasi, kebudayaan itu pun sangat beraneka ragam. Perkembangan seni, agama, pemerintahan, dan segi-segi kebudayaan lain sangat bergantung pada iklim setempat. Paham dan pandangannya ini di sebut “ determinisme iklim”.
Selanjutnya manusia dengan kemampuan budayanya dapat memilih kegiatan yang cocok sesuai dengan kemungkinan dan peluang yang di berika oleh alam lingkungannya, telah di pandang aktif sesuai dengan kemampuan yang di milikinya. Kemudian berkembang pandangan “ posibilisme optimis teknologi” yang secara optimis memberikan kemungkinan kepada penerapan teknologi dalam memecahkan masalah hubungan manusia dengan alam lingkungan.
B. PENGERTIAN MASYARAKAT DAN CIRI-CIRINYA
Dalam kehidupan seharhari istilah atau kata masyarakat sering muncul, seperti dalam contoh berikut ini :
a. Masyarakat sudah banyak berkorban untuk kepentingan PEMILU, sementara para anggota DPR malah bertengkar memperebutkan kedudukan.
Bandingkan dengan contoh berikut ini:
b. Rakyat sudah banyak berkorban untuk kepentingan PEMILU, sementara para anggota DPR malah bertengkar memperebutkan kedudukan.
Contoh lain seperti berikut ini:
c. Masyarakat kompleks perumahan tamansari Indah bergotong royong membersihkan selokan.
Terkandang kita menggunakan kata masyarakat untuk makna yang bukan sebenarnya, seperti kata “ rakyat” kita gunakan juga istilah “ masyarakat” untuk menggantikannya, atau juga sebaliknya, kita menggunakan kata “ rakyat “ untuk menggantikan kata “ masyarakat”. Istilah masyarakat dalam bahasa Inggrisnya Society, sedangkan istilah komunitas dalam Inggrisnya Community.
Jadi ciri atau unsur masyarakat adalah :
1. kumpulan orang
2. sudah terbentuk dengan lama
3. sudah memilki system social atau struktur sosial tersendiri
4. memiliki kepercayaan, sikap, dan perilaku yang di miliki bersama
Krech, Crutchfield, dan Ballachey ( 1975: 308 ) mengemukakan denifisi masyarakat sebagai “ a society is that it is an organized collectivity of interacting people whose activies become centered around a set of common goals, and who tend to share common beliefs, attitudes, and of action”.
Unsur masyarakat berdasarkan denifisi ini, adalah:
1. Kolektivitas interaksi manusia yang terorganisasi.
2. Kegiatannya terarah pada sejumlah tujuan yang sam.
3. Memiliki kencenderungan untuk memiliki keyakinan, sikap dan bentuk tindakan yang sama.
Apakah kerumunan orang di pasar dapat di katagorikan sebagai masyarakat? Apakah kumpulan orang yang tingal di desa dapat dikatagorikan sebagai masyarakat?
Kerumunan orang di pasar tidak dapat dikatagorikan sebagai masyarakat karena tidak memiliki ciri-ciri sebagai masyarakat.
Apakah kumpulan orang yang tinggal didesa dapat dikatagorikan sebagai masyarakat? Apakah mereka sudah terbentuk dan hidup bersama dengan lama? Apakah mereka sudah memiliki system sosial atau struktur sosial sendiri? Apakah mereka memiliki kepercayaan, sikap, dan perilaku yang di miliki bersama?
Kalau kita rumuskan, masyarakat adalah kumpulan orang yang di dalamnya hidup bersama dalam waktu yang cukup lama. Jadi bukan hanya kumpulan atau kerumunan orang dalam waktu sesaat, seperti kerumunan orang di terminal, pasar, atau di lapang sepak bola. Dalam kebersamaan yang lama terjadi interaksi sosial. Selanjutnya orang-orang yang membentuk masyarakat harus memiliki kesadaran bahwa mereka merupakan satu kesatuan. Masyarakat merupakan suatu system hidup bersama, dimana mereka menciptakan nilai, norma, dan kebudayaan bagi kehidupan mereka.
Dari sekin banyak unsur masyarakat yang dikemukakan para ahli di atas, dapat kita simpulkan sebagai berikut:
1. Kumpulan orang.
2. Sudah terbentuk dengan lama.
3. Sudah memiliki system dan struktur sosial tersendiri.
4. memiliki kepercayaan (nilai), sikap, dan perilaku yang di miliki bersama.
5. Adanya kesinambungan dan pertahanan diri.
6. Memiliki kebudayaan.
1. Pengertian Masyarakat Setempat ( Community ) atau Komunitas dan Ciri-cirinya
Sesungguhnya, antara society dan community itu ada perbedaan yang mendasar. Namun, dalam bahasa Indonesia,” seolah-olah “ sama saja. Untuk lebih memahami hakikatnya, marilah kita ikuti beberapa definisinya sebagai berikut :
Dalam pengertian ini, community ( masyarakat setempat ) atau komunitas merupakan bagian kelompok dari masyarakat ( society ) dalam lingkup yang lebih kecil, serta mereka lebih terikat oleh tempat ( territorial ).
Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto, istilah community dapat di terjemahkan sebagai “masyarakat setempat”, istilah nama menunjukan pada warga-warga sebuah desa, sebuah kota, suku atau suatu bangsa.
Dapat disimpulkan bahwa masyarakat setempat ( community ) adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial yang tertentu. Dasar-dasar dari masyarakat setempat adalah lokalitas dan perasaan masyarakat setempat.
Jadi unsur pertama kali dari komunitas ialah adanya wilayah atau lokalitas. Suatu komunitas pasti mempunyai lokalitas atau tempat tinggal tertentu. Meskipun suatu kelompok manusia mereka adalah pengembara, namun pada suatu saat tertentu mereka menempati wilayah tertentu.
Unsur yang kedua dari komunitas adalah perasaan saling ketergantungan atau saling membutuhkan. Perasaan anggota masyarakat setempat dengan anggota lainnya didasari adanya persamaan tempat tinggal.
Perasaan bersama antara anggota masyarakat setempat tersebut diatas disebut community sentiment. Setiap community sentiment memiliki unsur:
1. seperasaan
2. sepenggungan
3. saling memerlukan
Pengertian masyarakat ( society ) jelas berbeda dengan pengertian masyarakat setempat ( community ) atau komunitas. Pengertian masyarakat ( society ) sifatnya lebih umum dan lebih luas, sedangkan pengertian masyarakat setempat ( community ) lebih terbatas dan juga dibatasi oleh areal kawasannya, serta jumlah warganya. Namun ditinjau dari aktivitas hubungannya, lebih erat pada masyarakat setempat ( community ) daripada masyarakat ( society ), dan persatuannya juga lebih erat.
C. MASYARAKAT DESA DAN KOTA
Sebuah desa sering kali di tandai dengan kehidupan yang tenang, jauh dari hikuk pikuk keramaian, penduduknya ramah-tamah, saling mengenal satu sama lain, mata pencaharian penduduknya kebanyakan sebagai petani, atau nelayan.
Sebuah kota sering kali di tandai kehidupan yang ramai, wilayahnya yang luas, banyak penduduknya,hubungan yang tidak erat satu sama lain, dan mata pencaharian penduduknya bermacam-macam.
Menurut Soerjono Soekamto, masyarakat kota dan desa memiliki perhatian yang berbeda, khususnya perhatian terhadap keperluan hidup. Di desa, yang di utamakan adalah perhatian khusus terhadap keperluan pokok, fungsi-sungsi yang lainnya di abaikan. Lain dengan pandangan orang kota, mereka melihat selain kebutuhan pokok, pandangan masyarakat sekitanya sangat mereka perhatikan.
Pembagian kerja (division of labor) pada masyarakat kota sudah sangat terspesialisasi. Begitu pula jenis profesi pekerjaan sudah sangat bayak macamnya (heterogen).
Masyarakat desa memiliki jenis pekerjaan yang sama, seperti bertani, berladang, atau sebagai nelayan. Kehidupan orang desa yang memiliki jenis pekerjaan yang sama (homogen) sangat menggantungkan pekerjaannya kepaa keluarga lainnya. Mereka tidak bisa mengerjakan semuanya oleh keluarganya sendiri. Untuk mengolah tanah, memanen padi, atau pekerjaan bertani lainnya, mereka harus sepakat dengan yang lain menunggu giliran. Begitu pula jika ada pekerjaan lain, seperti membuat atau memperbaiki rumah, mereka sudah atur waktunya supaya bisa di kejakan bersama-sama. Saling ketergantungan pada masyarakat yang di sebabkan oleh karena adanya persamaan dalam bidang pekerjaan oleh Emile Durkheim di sebut dengan solidaritas mekanis (mechanic solidarity).
Ferdinand Tonnies mengemukaka pembagian masyarakat dengan sebutan masyarakat gemainschaft dan geselschaft. Masyarakat gemainschaft atau di sebut juga paguyuban adalah kelompok masyarakat di mana anggotanya sangat terkait secara emosional dengan yang lainnya. Sedangkan masyarakat geselschaft atau patembeyan ikatan-ikatan diantara anggotanya kurang kuat dan bersifat rasional. Paguyuban cenderung sebagai frefleksi masyarakat desa, sedangkan patembayan refleksi masyarakat kota.
D. INTERAKSI SOSIAL DAN PELAPISAN SOSIAL
Manusia berinteraksi dengan sesamanya dalam kehidupan untuk menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apa bila manusia dalam hal ini orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara dan sebagainya untuk mencapai tujuan bersama mengadakan persaingan, pertikaian, dan lain-lain. Maka dapat dikatakan bahwa interaksi sosial adalah proses-proses sosial, yang menunjukan pada hubungan-hubungan sosial dinamis.
1. Interaksi Sosial
Interaksi adalah proses di mana orang-orang berkomunikasi saling memengaruhi dalam pikiran dan tindakan.
a. Interaksi Sosial Sebagai Faktor Utama dalam Kehidupan
Adapun faktor-faktor yang mendasari berlangsungnya interaksi sosial yaitu :
1. Faktor Imitasi
Bahwa imitasi dapat membawa seseorang untuk memantuhi kaidah-kaidah yang berlaku.
2. Faktor Sugesti
Yang di maksud sugesti ialah pengaruh psikis, baik yang dating dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, yang pada umumnya di terima tanpa adanya daya kritik. Karena dalam psikologi sugesti di bedakan adanya.
● Autosugesti, yaitu sugesti terhadap diri sendiri yang dating dari dirinya sendiri.
● Heterosugesti, yaitu sugesti yang dating dari orang lain.
Dalam ilmu jiwa sosial sugesti dapat di rumuskan sebagai satu proses di mana seorang individu menerima suatu cara pengelihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa di kritik terlebih dahulu.
3. Faktor Identifikasi
Idetifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun batiniah.
4. Faktor Simpati
Simpati adalah perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang yang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, melainkan berdasarkan penilaian perasaan seperti juga pada proses identifikasi.
Tanpa adanya pemahaman yang sama tentang maksud dan tujuan masing-masing pelaku, suatu interaksi sosial tidak akan berjalan dengan baik.
b. Syarat-syarat Terjadi Interaksi Sosial
Untuk terjadinya suatu interaksi sosial diperlaku adanya syarat-syarat yang harus ada, yaitu:
1. Adanya Kontak Soaial ( Social Contact )
2. Adanya Komunikasi
Kontak sosial dapat terjadi dan berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu:
a. Antara orang perorangan
b. Antara orang perorangan dengan suatu kelompok atau sebaliknya.
c. Antara kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya.
c. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial
Gillin and Gillin menurut mereka ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu:
a. Proses Asosiatif, terbagi dalam tiga brntuk khusus yaitu akomondasi,asimilasi, dan akulturasi
b. Proses Disosiatif, mencakup persaingan yang meliputi “ contravention “ pertentangan pertikaian.
1. BENTUK INTERAKSI ASOSIATIF
Sehubungan dengan pelaksanaan kerja sama ada tiga bentuk kera sama yaitu:
Ø Bargaining, pelaksanan perjanjian mengenai pertukaran barang dan jasa antara dua organisasi atau lebih.
Ø Cooperation, proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya keguncangan dalam stabilitas organisasi yang bersnagkutan.
Ø Coalition, kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama.
Akomodasi ( Accommodation )
Adapun bentuk-bentuk dari akomodasi, di antaranya:
Ø Coercion, yaitu suatu bentuk akomodasi yang prosesnya di laksanakan karena adanya paksaan.
Ø Compromise, suatu bentuk akomodasi, di mana pihak yang terlibat masing-masing mengurangi tuntunannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada
Ø Arbitration, suatu cara untuk mencapai Compromise apa bila pihak yang berhadapan, tidak sanggup untuk memcapainya sendiri
Ø Mediation, hamper menyerupai Arbitration di undang pihak ketiga yang netral dalam soal perselisihan yang ada.
Ø Conciliation, suatu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih, bagi tercapainyasuatu persetujuan bersama.
Ø Tolerantion, bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formil bentuknya.
Ø Stelemate, merupakan suatu akomodasi di mana pihak –pihak yang berkepentingan mempunyai yang imbang, berhenti pada titik tertentu dalam melakukan pertentangannya.
Ø Adjudication, yaitu perselisihan perkara atau sengketa di pengadilan.
2. Bentuk Interaktif Disosiatif
Persaingan ( Competition )
Pesaingan adalah bentuk interaksi yang di lakukan oleh individu atau kelompok yang bersaing untuk mendapatkan keuntungan tertentu bagi dirinya dengan cara menarik perhatian atau mempertajam prasangka yang telah ada tanpa menggunakan kekerasan.
Kontevensi ( Contravention )
Kontavensi bentuk interaksi yang berbeda antara persaingan dan pertentangan. Kontravensi di tandai oleh adanya ketidakpastian terhadap diri seseorang, perasaan tidak suka yang di sembunyikan dan kebencian terhadap kepribadian orang, akan tetapi gejala-gejala tersebut tidak sampai menjadi pertentangan atau pertikaian.
Pertentangan ( Conflict )
Pertentangan adalah suatu bentuk interaksi individu atau kelompok sosial yang berusaha untuk mencapai tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai ancaman atau kekerasan.
Pertentangan memiliki bentuk-bentuk yang khusus, antara lain :
Ø Petentangan pribadi, pertentangan antar-individu.
Ø Pertentangan rasional, pertentangan yang timbul karena perbedaan ras.
Ø Pertentang kelas sosial, pertentangan yang di sebabkan oleh perbedaan kepentingan antara kelas sosial.
Ø Pertentangan politik, biasanya terjadi di antara partai-partai politik untuk memperoleh kekuasaan Negara.
E. STRATIFIKASI SOSIAL DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
Berkaitan dengan penempatan individu dalam kelompok sosial, maka individu memiliki kemampua untuk :
1. Menempatakan diri ; dan
1992: 6)
Max Weber menjelaskan stratifikasi sosial dalam tiga dimensi, yaitu:
1. Dimensi kekayaan
2. Dimensi kekuasaan
3. Dimensi prestise
Dimensi kekayaan membentuk formasi sosial yang disebut kelas, dimensi kekuasaan membentuk partai, dan dimensi prestise membentuk status. Jika kelompok kelas mengerjakan kepentingan ekonomi dalam transaksi pasar, maka pembahasaan partai berkaitan dengan pencapaian kekuasaan sosial. Namun pembahasan partai dalam kaitannya dengan gaya hidup tidak terlalu ditekankan, karena relevansinya dianggap kurang.
Berbeda dengan kelas, kelompok status merupakan komunitas. Bila kelompok kelas ditentukan oleh situasi kelas, maka kelompok status di tentukan oleh situasi status. Situasi status yaitu setiap komponen tipikal dari kehidupan ( nasib ) manusia ( life fate of man ) yang di tentukan oleh penilaian sosial, baik positif, negative, atau yang khusus terhadap kehormatan ( honor ) . Kelompok kelas tidak selalu berkaitan dengan status. Mereka yang termasuk pemilik dalam kelompok kelas belum tentu dalam kelompok status mendapat kehormatan yang tinggi di banding bukan pemilik. Demikian pula, pemilik dan bukan pemilik dapat masuk dalam kelompok status yang sama.
Gaya hidup yag sam belum tentu belum mencerminkan gambaran sosioekonomi yang sama belum tentu menghasilkan gaya sama pula. Pengelompokan dimensi gaya hidup dalam lima kelompok, yaitu :
1. Dimensi Morfologis
Dimensi morfologis merujuk kepada lingkungan dan aspek geografis. Beberapa atau sekelompok oaring lebih terikat pada tempat tertentu di banding tempat yang lainnya, dari mulai lingkungan yang tradisional sampai kota yang cosmopolitan.
2. Hubungan Sosial dan Jaringan Kerja
Dimensi ini di bedakan atas tiga bidang, yaitu :
a). Pengkapsulan: kerteikatan pada lingkungan, suku, etnis, keeratan di berbagai bidang.
b). Segregasi: tidak menekankan pada suatu kegiatan saja, tetapi pada beberapa kegiatan tanpa ada keterikatan yang akrab atau emosional.
c). Isolasi: tanpa ada ketrikatan yang mendalam pada bidang apapun.
3. Penekan Bidang Kehidupan (Dominan)
Seseorang dapat menekankan kehidupanya pada suatu bidang tertentu yang menjadi priotasnya.
4. Makna Gaya Hidup (Wordview)
Penilaian atau pemaknaan terhadap bidang-bidang kehidupan.
5. Dimensi Simbolik (style)
Simbol-simbol yang digunakan dalam hidupnya. Dimensi-dimensi gaya hidup di atas terlihat lebih mengandung nilai sosial. Artinya dimensi-dimensi gaya hidup dibentuk dalam rangka memjalin hubungan sosial dengan individu atau kelompok lain.
5
Manusia, Nilai, Moral, dan Hukum
A. HAKIKAT NIALI MORAL DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
1. Nilai dan Moral sebagai Materi Pendidikan
Bidang filsafat yang berhubungan dengan cara manusia mencari hakikat sesuatu, salah satu diantaranya adalah aksiologi, bidang ini disebut filsafat nilai, yang memiliki dua kajian utama yaitu estetika dan etika. Estetika berhubungan dengan keindahan, sementara etika berhubungan dengan kajian baik, buruk, dan benar salah.
Bertens (2001, hlm. 6) menyebutkan ada tiga jenis makana etika:
Pertama, etika bias dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral, yang dimaksud di sini adalah etika.
Ketiga, etika mempunyai arti bagi ilmu tentang yang baik dan buruk. Etika di sini sama dengan filsafat moral.
Ketika ketiga pengertian etika di atas dikembangkan dalam dunia pendidikan, kecenderungan dan orientasi terhadap persoalan itu akan melibatkan problematika metodologis. Perbedaan dan kecenderungan metode yang dipilih lebih sering karena perbedaan maksud yang ingin dicapai, jadi bukan hanya ketidakpastian makna nilai yang diyakininya, namun termasuk nilai pun bias membuat setiap orang memiliki orientasi serta strategi yang berbeda dalam pengembangan pendidikan.
2. Nilai Moral di Antara Pandangan Objektif dan Subjektif Manusia
Nilai berhubungan dengan sikap seseorang sebagai warga masyarakat, warga suatu bangsa, sebagai pemeluk suatu agama dan sebagai warga dunia. Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam konteks, pertama akan memandang nilai sebagai suatu objektif. Nilai bagi pandangan objektivis tidak tergantung pada objek, melainkan objeklah sebagai penyangga perlu hadir dan menampakan nilai tersebut. Pandangan kedua memandang nilai subjektif, nilai sangat tergantung pada subjek yang menilainya. Jadi nilai melekat pada subjek penilai. Nilai dalam pengertian ini bukan diluar si penailai melainkan inheren dengan subjek yang menilai.
Nilai itu objektif atau subjektif bias dilihat dari dua kategori:
1. Apakah objek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau kita mendambakannya karena objek itu memiliki nilai?
2. Apakah hasrat, kenikmatan, perhatian yang member nilai pada objek, atau kita mengalami preferensi karena kenyataan bahwa objek tersebut memiliki nilai mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan organis kita? (Frondizi, 2001, hlm. 19-24)
Apakah nilai objektif atau subjektif? Hal ini bias ditelusuri dengan dua pertannyaan mendasar?
1. Apakah kecenderungan, selera, kehendak akan menentukan nilai suatu objek?
2. Apakah suatu objek tadi diperhatikan, diinginkan karena memiliki nilai? (
Lasyo, 1999: hlm. 2)
Persoalan objektif dan subjektif nilai ini akan sangat ert kaitannya dalam pendidikan tatkala dihubungkan dengan isi nilai apa yang harus diajarkan.
3. Nilai di Antara Kualitas Primer dan Kualitas Skunder
Kualitas adalah sebuah sifat, kualitas menetukan tinggi rendahnya derajat sesuatu, kualitas pun menentukan berharga tidaknya suatu objek. Kualitas melekat dan hadir serta terlihat karena adanya objek yang ditempati sifat atau kualitas tersebut, kualitas memang ada, tapi adanya membutuhkanpenopang yaitu objek yang ditempati kualitas.
Menurut Frondizi (2001, hlm. 7-10) kualitas dibagi dua:
1. Kualitas Primer, yaitu kualitas dasar yang tanpa ituobjek tidak dapat menjadi ada, seperti panjang dan beratnya batu sudah ada sebelum batu itu dipahat.
2. Kualitas Sekunder, yaitu kualitas yang dapat ditangkap oleh pancaindra seperti warna, rasa, bau, dan sebagainya.
Perbedaan kualitas antara kualitas primer dan kualitas sekunder bukan bersatu tidaknya kualitas tersebut pada objek, melainkan pada kniscayaannya. Jadi, hadirnya kualitas primer merupakan kepastian/keniscayaan. Sedangkan kualitas sekunder merupakan bagian eksistensi objek tetapi kehadirannya sangat tergantung subjek penilai.
Frondizi (2001, hlm. 11-12) menyatakan lebih lanjut, nilai bukan kualitas primer dan bukian kulitas sekunder, sebab: “nilai tidak menambah atau memberi eksistensi objek. Nilai bukan keniscayaan esensi objek. Nilai bukan beda atau unsur beda, melainkan sifat, kualitas/sui-generis, yang dimiliki objek tertentu yang dikatakan “baik”. Menurut Husserl (2001, hlm.12) “nilai itu milik semua objek, nilai tidaklah independen yakni tidak memiliki kesubstansifan”. Oleh karena itu, sebelum ada penopang nilai hanyalah merupakan “kemungkinan”, nilai tidak memiliki eksistensi yang riil, karena nilai merupakan sifat dan kualitas.
4. Metode Menemukan dan Hierarki Nilai dalam Pendidikan
Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang selanjutnya diambil suatu keputusan. Sesuatu dipandang bernilai karena sesuatu itu berguna, maka disebut nilai kegunaan, bila benar dipandang bernilai maka nilai kebenaran, indah dipandang bernilai maka disebut nilai keindahan (estetis), baik dipandang bernilai maka disebut nilai moral (etis), religius dipandang bernilai maka disebut nilai keagamaan. Oleh karena itu, nilai itu memiliki polaritas hierarki, yaitu:
1. Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negative yang sesuai (polaritas) seperti baik dan buruk, keindahan dan kejelekan.
2. Nilai tersusun secara hierarkis, yaitu hierarki ukuran pentingnya.
Pendapat Nicholas Rescher (1969, hlm. 14-19) yang menyatakan adanya 6 klasifikasi nilai, yaitu klasifikasi nilai yang didasarkan atas:
1. Pengakuan, yaitu pengakuan subjek tentang nilai yang harus dimiliki seseorang atau sekelmpok, misalnya nilai profesi, nilai kesukuan atau nilai kebangsaan.
2. Objek yang dipermasalahkan, yaitu cara mengevaluasi suatu objek dengan berpedoman pada sifat tertentu objek yang dinilai.
3. Keuntungan yang diperoleh,……., yaitu menurut keinginan, kebutuhan, kepentingan atau minat seseorang yang diwujudkan dalam kenyataan.
4. Tujuan yang akan dicapai,…, yaitu berdasarkan tipe tujuan tertentu sebagai reaksi keadaan yang dinilai.
5. Hubungan antara pengemban nilai dengan keuntungan:
- Nilai dengan orientasi pada diri sendiri
- Nilai dengan orientasi pada orang lain
1) a. Nilai yang berorientasi pada keluarga hasilnya kebanggaan keluarga.
b. Nilai yang berorientasi pada profesi hasilnya nama baik profesi.
c. Nilai yang berorientasi pada bangsa hasilnya nilai patriotism.
d. Nilai yang berorientasi pada masyarakat hasilnya keadilan social.
2) Nilai yang berorientasi pada kemanusiaan, yaitu nilai univesrsal.
6. Hubungan yang dihasilkannilai itu sendiri dengan yang lebih baik.
Sedangkan dalam hierarki nilai sangat tergantung dari sudut pandang dan nilai yang menjadi patokan dasar si penilai. Nilai tentu saja dipandang penting oleh setiap orang, namun tingkat kepentingan nilai tersebut tidaklah sama, itulah sebabnya nilai memiliki tingkatan dalam pengertian ada hierarki.
Menurut Max Scheller (dalam Kaelan, 2002, hlm. 175) menyebutkan hierarki tersebut terdiri dari:
1. Nilai kenikamatan, yaitu nilai yang mengenakan atau tidak mengenakan, yang berkaitan dengan indra manusia.
2. Nilai kehidupan, yaitu nilai yang penting bagi kehidupan.
3. Nilai kejiwaan, yaitu nilai yang tidak tergantung pada keadaan jasmani maupun lingkungan
4. Nilai kerohanian, yaitu moralitas nilai dari yang suci dan tidak suci.
Sedangkan Notonagoro (dalam Dardji, D. 1984, hlm. 66-67) membagi hierarki nilai pada tiga:1. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsure jasmani manusia.
2. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan aktivitas.
3. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Nilai kerohanian ini bisa dibedakan pada empat macam:
- Nilai kebenaran yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta) manusia
- Nilai keindahan, atau nilai estetis, bersumber pada unsure perasaan (esthetis, gevoel, rasa) manusia.
- Nilai kebaikan, atau nilai moral, yang bersumber pada kehendak (will, wollen, karsa) manusia.
- Nilai religius, yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Sedangkan di Indonesia (khususnya pada decade penataran P4) hierarki nilai dibagi tiga (Kaelan, 2002, hlm. 178) sebagai berikut.
1. Nilai dasar (dasar ontologis) merupakan hakikat, esensi, inti sari, atau makna terdalam dri nilai tersebut yang bersifat universal.
2. Nilai instrumental,…, merupakan suatu pedoman yang dapat diukur atau diarahkan. Nilai instrumental merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar.
3. Nilai praksis, merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam suatu kehidupan nyata.
Sementara itu ada juga yang membedakan antara nilai intrinsic dan nilai ekstrinsik, nilai objektif dan nilai subjektif. Nilai tertinggi selalu berujung yang terdalam dan terabstrak bagi manusia. terdalam arti lebig hakiki dan lebih bersifat kepentingan-kepentingan transenden dalam bentuk-bentuk ideal yang dapat dipikirkannya, sedangkan nilai yang semakin rendah lebih bersifat sementara, tergantung pada indrawi manusia dan lebih bersifat pragmatis untuk memuaskan jasmani manusia.
Pendidikan tidak cukup hanya membimbing mereka untuk meyakini nilai yang paling hakiki, terdalam dasar. Persoalannya bagaimana seseorang mendapatkan dan menentukan hierarki nilainya? John Dewei mengatakan “persoalan nilai adalah problema metodologis” (frondizi, 2001, hlm. 30). Apakah seseorang akan tergolong pada kelompok objektif empiris yaitu yang menyesuaikan diri dengan pengalaman. Cara kedua menghasilkan nilai dan kebernilaian dengan subjektif apriori yaitu meyakini intusi emosional, yaitu keyakinan ilmu pengetahuan yang tidak dipertannyakan lagi.
Yang jelas dalam dunia pendidikan, kedua cara menghasilakan nilai moral tersebut dapat digunakan, karena pendidikan memandang individu sebagai makhluk yang berpengalaman di satu sisi, dan sebagai individu yang memiliki potensi untuk mencapai kebenaran di sisi lain.
5. Pengertian Nilai
1. Cheng (1995) : Nilai merupakan sesuatu yang potensial, dalam arti terdapatnya hubungan yang harmonis dan kreatif, sehigga berfungsi untuk menyempurnakan manusia, sedangkan kualitas merupakan atribut atau sifat yang seharusnya dimiliki. (Lasyo, 1999, hlm. 1)
2. Frankena : Nilai dalam filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness) dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian. (Kaelan, 2002, hlm. 174)
3. Lasyo (1999, hlm. 9) : Nilai bagi manusia merupakan landasan atau motifasi dalam segala tingkah laku atau perbuatan.
4. Arthur W. Comb ; Nilai adalah kepercayaan-kepercayaan yang digeneralisir yang berfungsi sebagai garis pembimbing untuk menyeleksi tujuan serta perilaku yang akan dipilih atau dicapai. (Karma. A. hakam, 2000, hlm. 45)
5. Dardji Darmodihardjo (1986, hlm. 36) : Nilai adalah yang berguna bagi kehidupan manusia jasmani dan rohani.
6. Encyclopedia Britainica (hlm. 963) : Nilai ialah kualitas objek yang menyangkut jenis apresiasi atau minat.
Pengertian nilai yang telah dikemukakan oleh setiap pakar memberikan pengertian secara holistik terhadap nilai, akan tetapi setiap orang tertarik pada bagian-bagian yang ”relatif belum tersentuh” oleh pemikiran lain. Oleh karena itu akan berupaya terus menjawab apa yang belum terjawab. Dalam pengertian yang dikemukakan diatas terjadi pereduksian makna nilai pada kondisi psikologis, pada objek ideal dan pada status benda.
Upaya mereduksi nilai dengan kondisi psikologis terjadi apabila nilai dihubungkan dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Sesuatu yang menyenangkan atau kenikmatan
2. Identik dengan keinginan
3. Merupakan sasaran perhatian
Pereduksian nilai dengan kondisipsikologis ini hanya menempatkan nilai sebagai pengalaman pribadi semata. Ada juga yang mereduksikan nilai dengan ”esensi atau ide plantonik atau objek ideal” (Frondizi, 2001, hlm. 4). Biasanya karena adanya kekeliruan antara nilai sebagai sesuatu yang bukan realitas dengan identitas yang menandai esensi. Husserl (Frondizi, 2001, hlm. 48) sebagai berikut:
1. Objek ideal itu bersifat ideal, sedangkan nilai itu tidak riil
2. Keindahan adalah nilai, sedangkan ide tentang keindahan adalah objek ideal.
3. Keindahan ditangkap melalui emosi, ide tentang keindahan ditangkap melalui intelektual.
4. Lotze : Nilai itu tidak ada, objek ideal itu ada
Pereduksian nilai dengan status benda disebabkan:
1. Kekacauan dimulai dengan kenyataan bahwa nilai tidak ada dalam dirinya sendiri tetapi tergantung penopangnya yang biasanya merupakan substansi berbadan.
2. Kebutuhan adanya penopang bagi nilai menjadikan nilai sebagai eksistensi yang ”parasitis”.
Pengertian nilai yang dikemukakan oleh John Dewei karena dia sebagai seorang pragmatis melihat nilai dari sudut kepentingannya, hal seperti ini terlihat pula pada devinisi yang dikemukakan oleh Encyclopedia Britanica dan Encyclopedia of Sociology.
6. Makna Nilai bagi Manusia
Nilai itu penting bagi manusia, apakah nimai itu dipandang dapat mendorong manusia karena dianggap berada dalam disi manusia atau nilai itu menarik manusia karena ada di luar manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai kegiatan menilai.
Yang terpenting dalam upaya pendidikan, keyakinan individu pada nilai harus menyentuh sampai hierarki nilai tertinggi, sebab seperti yang diungkapkan oleh Sceller, bahwa:
1. Nilai tertinggi menghasilkan kepuasan lebih mendalam
2. Kepuasan jangan dikacaukan dengan kenikmatan (meskipun kepuasan merupakan hasil kenikmatan)
3. Semakin berkurang kerelatifan nilai, semakin tinggi keberadaannya, nilai tertinggi dari semua nilai adalah nilai mutlak. (Frondizi, 2001, hlm.129-130)
B. PROBLEMATIKA PEMBINAAN NILAI MORAL
1. Pengaruh Kehidupan Keluarga dalam Pembinaan Nilai Moral
Kehidupan modern sebagai dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menghasilkan berbagi perubahan, pilihan dan kesempatan, tetapi mengandung berbagai risiko akibat kompleksitas kehidupan yang ditimbulkannya. Adalah munculnya ”nilai-nilai modern” yang tidak jelas dan membingungkan anak. (individu). Keluarga sebagai bagian dari masyarakat, banyak orang meyakini bahwa niai moral itu hidup dan dibangun dalam lingkungan keluarga. Tapi setiap hari, dalam keluarga terjadi perubahan-perubahan dramatis, meskipun tidak sampai masuk kategori menakutkan. Seringkali pada keluarga yang broken home atau pada keluarga yang kedua orang tuanya bekerja berakibat pada penurunan intensitas hubungan antara anak dengan orang tua, seorang anak sangat sulit untuk membangun nilai-nilainya secara jelas.
Problema utama bagi kehidupan orang tuayang bekerja terletak pada tingkat komunikasi dengan anak-anaknya. Persoalan lain yang terjadi di keluarga adalah terjadinya migrasi atau perpindahan domisili. Dampak ini dapat menggoyahkan stabilitas kehidupan anak-anak. Pola-pola hubungan sering kali menjadi rusak, muncul murid dan guru baru yang harus ditemui anak. Persoalan merosotnya intensitas interaksi dalam keluarga, serta terputusnya komuniasi yang harmonis antar orang tua dengan anak, mengakibatkan merosotnya fungsi keluarga dalam pembinaan nilai moral anak. Dalam posisi seperti inilah institusi pendidikan perlu memfasilitasi peserta didik untuk melakukan klarifikasi nilai.
2. Pengaruh Teman Sebaya Terhadap Pembinaan Nilai Moral
Sebagai makhluk sosial, anak pasti punya teman, kumpulan kepercayaan yang dimiliki anak akan membengtuk sikap yang dapat mendorong untuk memilih atau menolak sesuatu. Sikap-sikap yang mengkristal pada diri anak akan menjadi nilai tersebut akan berpengaruh pada perilakunya.
Pertemanan yang paling berpengaruh timbul dari teman sebayanya, karena diantara mereka relatif lebih terbuka, dan intensitas pergaulan relatif sering, baik disekolah/kampus maupun lingkungan masyarakat. Persoalan nilai mana yang akan menjadi keyakinan individu (mahasiswa) tentu diadakan adanya upaya pendidikan untuk membimbing mereka keluar dari kebinngungan nilai serta menemukan nilai hakiki yang harus menjadi pegangannya.
3. Pengaruh Figur Otoritas Terhadap Perkembangan Nilai Moral Individu
Orang dewasa memiliki pemikiran bahwa fungsi utama dalam menjalin hubungan dengan anak-anak adalah memberi tahu sesuatu dengan mereka; memberi tahu apa yang harus mereka lakukan, kapan waktu yang tepat untuk melakukannya, di mana harus dilakukan, seberapa sering telah melakukan dan juga kapan harus menhakhirinya. Jika anak itu menolak maka dapat dipastikan anak itu digolongkan tidak taat, kurang ajar, atau pembangkang.
Dengan kata lain orang tua belum meyakini bahwa anak-anak telah menjadi ”manusia”. Anak-anak diharuskan mengikuti anjuran yang disarankan. Mereka juga harus mengikuti harapan atau aspirasi yang dimiliki orang tua. Dalam kondisi seperti inilah lembaga pendidikan perlu mengupayakan agar peserta didik mampu menemukan nilai dirinya tanpa harus bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dimasyarakat.
4. Pengaruh Media Komunikasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Akhir abad ke-20, alat-alat komunikasi yang potensial telah diperkenalkan kedalam ritualit kehidupan keluarga. Namun media-media tersebut justru menyuguhkan berbagai pandangan hidup yang snagat variatif pada anak. Sudah tentu anak akan memungut sejumlah gagasan atau nilai dari semua ini baik nilai-nilai positif dan termasuk pengaruh negatifnya.
Dalam hal ini, jika keluarga dapat membahasnya secara masuk akal dari setiap hal yang disajikan, mungkin setiap anak akan dapat mengambil pelajaran tentang makna dari pandangan-pandangan baru dalam kehidupan ini. Tatkala anak dipenuhi oleh kebingungan nilai, maka institusi pendidikan perlu mengupayakan jalan keluar bagi peserta didiknya dengan pendekatan klarifikasi nilai.
5. Pengaruh Otak atau Berpikir Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Dalam konteks pendidikan, berpikir dimaknai sebagai proses yang berhubungan dengan penyelidikan dan pembuatan keputusan. Dimanapun keputusan diambil, pertimbangan nilai pasti terlibat, dan dimanapun penyelidikan berlangsung akan selalu melibatkan tujuan.”Beberapa tujuan mungkin menunjukan indikator nilai”(Rath, 1977, hlm.68)
Informasi yang dapat mengubah keyakinan, sikap, fdan nilai) sangat tergantung pada faktor-faktor berikut:
a. Perkenalan informasi
b. Penyempaian informasi
c. Tingkat disonasi kognitif
d. Level penerimaan
e. Level kesiapan
Oleh karena itu, munculnya bargbagai informasi, apalagi bila informasi itu sama kuatnya maka akan mempengaruhi disonasi kognitif yang sama, misalnya saja pengaruh tuntutan teman sebaya dengan tuntutan aturan keluarga dan aturan agama akan menjadi konflik internal pada individu tersebut. Kebingungan ini bisa diperparah apabila dilembaga pendidikan peserta didik diberi lagi informasi tambahan yang berbeda dengan tiga tuntutan tersebut tanpa memberikan solusi untuk menemukan nilai dirinya.
C. MANUSIA DAN HUKUM
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dan membutuhkan bantuan sesamanya. Karena itu, perlu adanya keteraturan sehingga setiap individu dapat berhubngan secara harmonis dengan individu lain di sekitarnya. Diperlukan aturan yang disebut hukum, hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia-masyarakat-dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisahkan, sehingga pameo ”Ubi societas ibi ius” (dimana ada masyarakta di sana ada hukum) adalah tepat.
”Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur,..., ketertiban sebagai tujuan utama hukum, merupakan faktor objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segaa bentuknya. Banyak kaidah yang berkembang dan dipatuhi masyarakat, seperti kaidah agama, kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan, dan kaidah moral.
Hukum sebagai kaidah sosial , tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku pada suatu masyarakat. Hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Mochtar Kusumaatmadja (2002, hl. 10) :”hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyaraky yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
D. HUBUNGAN HUKUM DAN MORAL
”Quid leges sine moribus?” Apa artinya undang-undang yang berlaku tidak disertai moralitas? Hukum tidak berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas. Moral juga membutuhkan hukum, sebab tanpa hukum hanya angan-angan saja, kalau tidak di undangkan atau dilembagakan dalam masyarakat. K. Bertens ; Perbedaan antara hukum dan moral, pertama, Hukum lebih dikodifikasikan dari pada moralitas, artinya dibukukkan secara sistematis dalam kitab undang-undang. Hukum lebih memiliki kepastian dan objektif dibandingkan dengan norma moral, sedangkan norma moral bersifat lebih subjektif. Kedua, hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah, sedangkan moral menyangkut siakap batin seseorang. Ketiga, sanksi hukum berbeda dengan sanksi moralitas, hukum dapat dipaksakan pelanggar akan terkena hukuman akan tertapi norma tidak dapat dipaksakan. Sanksi moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang. Keempat, hukum didasarkan atas kehendak masyrakat dan akhirnya atas kehendak negara. Moralitas didasarkan atas norma moral yang melebihi para individu masyarkat. Masyarakat dapat mengubah hukum, tetapi tidak dapat mengubah atau membatalkan norma moral. Moral menilai hukum tetapi tidak sebaliknya.
Gunawan Setiardja; membedakan huum dan moral, pertama, dari dasarnya hukum memiliki dasar yurisis, konsensus, dan hukum alam, kedua, dari otonominya hukum bersifat heteronom (luar), moral bersifat otonom (diri sendri), ketiga, dari pelaksanaanya hukum dapat dipaksakan, moral tidak dapat dipaksakan, keempat, dari sanksinya, sanksi hukum bersifat yuridis, sedangkan sanksi moral berbentuk sanksi kodrati, kelima, dari tujuannya hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan negara, sedangkan moral mengatur manusia sebagi manusia, keenam, dari waktu dan tempat, hukum tergantung pada waktu dan tempat, sedang moral objektif . (1990,119)